Oleh : Rhenald Kasali
Guru Besar Ekonomi UI
DI atas panggung, saya melihat
Ibas beberapa kali melihat jam tangannya saat Ketua Sidang KLB Partai Demokrat
di Bali Maret 2013 Mangindaan menjelaskan mekanisme persidangan. Entah apa
yang ada di kepala putra presiden yang belakangan namanya sering disebut-sebut
pers itu. Apalagi saat ayahanda didaulat menjadi ketua umum partai yang
didirikannya.
Di luar gedung, televisi menurunkan narasumber-narasumber
yang sinis berucap terhadap political dynasty.
Nama-nama keluarga sebagai calon presiden pun
diusung para pengikut seakan menjadi jalan keluar dari jebloknya rating. Di
dalam gedung, ribuan kader mendesak: SBY harus takeover, keluarga
adalah calon presiden berikutnya. Di dalam hati, saya justru berempati kepada
para penerus dynasty: “Betapa berat beban yang kau tangggung, Nak.”
The Caged Life
Kahlil Gibran menulis, “anakmu bukanlah anakmu,
mereka putra-putri sang hidup, yang rindu akan dirinya sendiri”. Tetapi, di
seluruh dunia, orangtua dan komunitas merasa anak adalah milik orangtua. Mereka
bertanggung jawab memikul beban sejarah. Kehebatan dan dosa orangtua adalah
milik anak, harta dan tahta orangtua juga menjadi harta anaknya. Anak-anak
dipenjara, menjadi the prisioner of the past. The prisioner of our problem.
Dua tahun yang lalu, saat memindahkan anak dari
sebuah SMA terpandang di Jakarta, saya melihat air mata Adam, 16 tahun,
menetes. Berat rasanya meninggalkan komunitas berbagi rasa di sini. Masalahnya,
wali kelas yang hebat selalu membandingkan prestasi anak dengan ayahnya yang
profesor.
Jauh di balik keriangannya bergaul, ada derita
yang ia tanggung membawa beban nama keluarga. Di luar negeri, ia diperlakukan
sama dengan anak-anak lain. Lagi pula, tidak ada yang kenal siapa ayahnya. Di
sana ia bebas belajar menjadi dirinya sendiri.
Saya tidak pernah bercita-cita menjadikan
anak-anak atau istri seperti diri saya. Mereka bebas menempuh perjalanan hidup
ini, menemukan lentera jiwanya. Jauh di balik hujatan terhadap putra-putri
pejabat yang seakan-akan menikmati ketenaran sebagai putra orang-orang
terkenal, saya justru menaruh simpati yang teramat dalam. Entah ia putra
presiden, anak direktur atau pengusaha, putri menteri, anak rektor atau guru
besar. Semua berpotensi hidup dalam kurungan jiwa: The Caged Life.
Hidup yang menderita adalah hidup yang dijalani
untuk menyenangkan orang lain dan didikte. Naskah pidato dibuatkan, senyum
disetel, dan orang-orang di sekitar kita bukanlah sahabat yang kita pilih, kita
tidak tahu siapa mereka. Dulu orang memerangkap Tutut agar menjadi penerus dynasty
Soeharto. Lalu, orang juga memerangkap Puan untuk meneruskan dynasty Soekarno.
Maaf, dynasty tidaklah melulu masalah presiden. Itu adalah masalah
pendukung yang takut kehilangan pijakan.
Di Jakarta, M. Rasyid Amrullah, putra Menko
Perekonomian Hatta Rajasa, seharusnya bersedih kala tidak bisa merasakan
pahitnya jeruji penjara. Ia dipaksa menerima kehendak jaksa dan hakim yang
begitu hormat terhadap nama besar keluarganya. Hukuman percobaan itu bukanlah hadiah
dari Tuhan, melainkan buatan manusia. Ketika manusia tidak bisa merasakan
penderitaan, ia justru akan kekurangan kebahagiaan. “Betapa berat dikejar rasa
bersalah sepanjang hidup ketimbang memanggul salib beberapa bulan,” ujar umat
kristiani di hari Paskah.
Di Amerika Serikat, political dynasty bukan
tidak ada. Hillary Clinton ingin mengulangi sejarah suaminya. George Bush Jr
bahkan dipercaya dua periode meneruskan ambisi keluarganya. Demikian pula
keluarga Kennedy yang meneruskan ambisi kakek Joe Kennedy yang kaya raya dari
berbagai usaha (termasuk impor ilegal minuman keras). Sebagian publik melihat dynasty
ini meraih kejayaan politik: menjadi presiden (JFK), senator (Robert dan
Ted), dan anggota parlemen. Tetapi, publik yang lain mencatat banyak anggota
keluarga yang mengalami depresi hingga bunuh diri.
Di Turki, orang selalu ingat jasa Sultan Mehmed
II yang berhasil menegakkan kejayaan Islam dengan menaklukkan Constatinopel.
Tetapi, di awal abad ke-20, para penerus Kerajaan Ottoman justru menanggung
beban. Mereka diusir dari Turki saat bangsa ini menghendaki negerinya menjadi
republik. Tidak bolehkah putra mahkota menjadi rakyat biasa dan hidup sebagai
musisi, akademisi, petani, atau apa saja yang mereka suka?
Hal serupa seharusnya juga dirasakan keluarga
Papandreou di Yunani yang empat generasinya mampu menjadi perdana menteri.
Namun, begitu George Papandreou memimpin, Yunani justru didera krisis terhebat
sepanjang sejarah sehingga ia dipaksa turun pada 2011. Pemimpin tidak cuma
dibekali darah, tetapi diuji oleh sejarah dan sekolah.
Jadi, manajemen keturunan bukanlah hal yang
sederhana. Kalau kebahagiaan adalah objektif sebuah kehidupan, maka biarkanlah
Ibas dan Puan menata kehidupannya sendiri. Biarkanlah mereka hidup dalam
lentera jiwanya. Biarkanlah anak-anak Anda, wahai para pengusaha dan pejabat,
menemukan rindunya hidup mereka masing-masing.
Para pendukung harus mulai bisa melepaskan nama
besar orangtua dari anakanaknya agar hidup bahagia dan bangsa ini menemukan
pemimpin yang teruji. (*)
(*) diambil dari tulisan Rhenald Kasali guru besar Ekonomi UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar