Termasuk
dari pendidikan tawadhu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah
agar bila selesai makan seseorang hendaknya menjilat tangannya. Hal ini bukan
termasuk sifat kerakusan atau keluar dari adab yang Islami. Sungguh adab yang
Islami adalah apabila sejalan dan seiring dengan tuntunan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah
menjelaskan adab ini dalam sebuah sabdanya:
“Apabila
salah seorang dari kalian makan, maka janganlah dia mengusap tangannya sampai
dia menjilatnya atau memberikan kepada orang lain untuk menjilatnya.” [1]
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hikmah dalam perkara ini sebagai
berikut:
“Sesungguhnya
dia tidak mengetahui tempat terletaknya barakah.”
Al-Imam
An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan: “Maknanya,
wallahu a’lam, janganlah dia mengusap tangannya sampai dia menjilatinya. Dan
jika dia tidak melakukannya, hendaknya dia memberikan orang lain untuk
menjilatnya. Tentunya orang-orang yang tidak merasa jijik dengan hal tersebut,
seperti kepada istrinya, budaknya, anaknya, atau pembantunya, yang mereka itu
mencintainya dan mereka merasakan kenikmatan atas hal yang demikian.” (Syarah
Shahih Muslim, 7/206)
Beliau
juga menjelaskan tentang makna hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Kalian tidak mengetahui tempat terletaknya barakah” : “Maknanya, wallahu
a’lam, bahwa makanan yang dimakan oleh seseorang terdapat padanya barakah.
Namun setiap manusia tidak mengetahui di mana letak barakah tersebut. Mungkin
saja barakah tersebut terdapat pada apa yang telah dia makan atau pada apa yang
tersisa di tangannya, atau yang masih ada di bejana, atau yang berjatuhan.
Sehingga sudah sepantasnya setiap orang memperhatikannya agar bisa mendapatkan
barakahnya.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)
Ibnu
Hajar rahimahullah menjelaskan: “Di dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap
orang yang membenci perbuatan menjilat tangan (setelah makan) karena alasan
jijik. Perasaan jijik itu terjadi bila dia melakukan penjilatan ketika makan,
karena setelah menjilatnya dia mengambil makanan lagi dan di tangannya terdapat
air liur. Al-Khaththabi berkata: “Suatu kaum telah menganggap bahwa menjilat
jari adalah perbuatan kotor, (anggapan) ini disebabkan kerusakan akal mereka
karena sifat angkuh, seakan-akan mereka tidak mengetahui bahwa makanan yang
dijilat (yang berada) di tangannya atau di bejana makannya adalah bagian dari
makanan yang mereka telah santap. Dan jika semua bagian makanan tersebut adalah
tidak jijik, lalu bagaimana sisa makanan yang sedikit akan menjadi jijik? Dan
menjilat jari itu tidaklah lebih besar perkaranya dibanding menjilat seluruh tangan
(ketika makan). Sungguh bagi orang yang berakal tidak ada keraguan lagi bahwa
hal itu tidak mengapa. Bahkan terkadang seseorang berkumur-kumur lalu menggosok
giginya dan seluruh bagian dalam mulutnya dengan jari-jemarinya, dan setelah
itu tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ini menjijikan atau termasuk
adab yang jelek. Di dalam hadits ini terdapat anjuran mengusap tangan setelah
makan.” (Fathul Bari, 9/662)
Beliau
menjelaskan: “Dalam hadits Ka’b bin ‘Ujrah yang diriwayatkan oleh Al-Imam
Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath terdapat sifat (tata cara) menjilat
jari-jemari: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam makan dengan
tiga jari: ibu jari, telunjuk dan jari tengah, kemudian aku melihat beliau
menjilat ketiga jari beliau sebelum beliau mengelapnya. (Beliau memulai dengan)
jari tengah kemudian telunjuk dan lalu ibu jari.” Syaikh kami berkata di dalam
At-Tirmidzi, seakan-akan rahasianya adalah bahwa jari tengah lebih banyak
terlumuri makanan sehingga sisa makaman padanya lebih banya dari yang lain, dan
karena lebih panjang tentu lebih dahulu turun dan menyentuh makanan. Dan
mungkin beliau menjilatnya mulai dari ujung ketiga jarinya menuju ke atas, dan
bila beliau memulai dari jari tengah lalu pindah ke jari telunjuk. Demikian
juga ibu jarinya, wallahu a’lam.” (lihat maraji’ (rujukan) sebelumnya)
hanya disini yang sedikit saya tambahi tentang "memberikannya kepada orang lain untuk menjilatinya" mungkin masih tidak terlalu familiar atau belum terbiasa dikalangan masyarakat indonesia, maka lebih baik untuk dijilati sendiri saja.
Wallahu
a’lam bish-shawab.
____________________
[1] Hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5456, Al-Imam Muslim no. 2031, Al-Imam Ahmad no. 3319, Al-Imam Abu Dawud no. 3349, Al-Imam Ibnu Majah no. 3260, Al-Imam Ad-Darimi no. 1940. Diriwayatkan juga dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2033, Al-Imam Ahmad no. 14410, Al-Imam Ibnu Majah no. 2261. Juga dari shahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2032, Al-Imam Abu Dawud no. 4450, Al-Imam Ahmad no. 25914 dan Al-Imam Ad-Darimi 1946.
[1] Hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5456, Al-Imam Muslim no. 2031, Al-Imam Ahmad no. 3319, Al-Imam Abu Dawud no. 3349, Al-Imam Ibnu Majah no. 3260, Al-Imam Ad-Darimi no. 1940. Diriwayatkan juga dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2033, Al-Imam Ahmad no. 14410, Al-Imam Ibnu Majah no. 2261. Juga dari shahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2032, Al-Imam Abu Dawud no. 4450, Al-Imam Ahmad no. 25914 dan Al-Imam Ad-Darimi 1946.
[Diambil
dari Majalah Asy Syariah no. 18/II/1426 H/2005, hal. 56]