Selasa, 24 Juli 2012

Hikmah Menjilati Jari-Jemari Setelah Makan


Termasuk dari pendidikan tawadhu’ dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah agar bila selesai makan seseorang hendaknya menjilat tangannya. Hal ini bukan termasuk sifat kerakusan atau keluar dari adab yang Islami. Sungguh adab yang Islami adalah apabila sejalan dan seiring dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan adab ini dalam sebuah sabdanya:
“Apabila salah seorang dari kalian makan, maka janganlah dia mengusap tangannya sampai dia menjilatnya atau memberikan kepada orang lain untuk menjilatnya.” [1]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan hikmah dalam perkara ini sebagai berikut:
“Sesungguhnya dia tidak mengetahui tempat terletaknya barakah.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan: “Maknanya, wallahu a’lam, janganlah dia mengusap tangannya sampai dia menjilatinya. Dan jika dia tidak melakukannya, hendaknya dia memberikan orang lain untuk menjilatnya. Tentunya orang-orang yang tidak merasa jijik dengan hal tersebut, seperti kepada istrinya, budaknya, anaknya, atau pembantunya, yang mereka itu mencintainya dan mereka merasakan kenikmatan atas hal yang demikian.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)
Beliau juga menjelaskan tentang makna hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Kalian tidak mengetahui tempat terletaknya barakah” : “Maknanya, wallahu a’lam, bahwa makanan yang dimakan oleh seseorang terdapat padanya barakah. Namun setiap manusia tidak mengetahui di mana letak barakah tersebut. Mungkin saja barakah tersebut terdapat pada apa yang telah dia makan atau pada apa yang tersisa di tangannya, atau yang masih ada di bejana, atau yang berjatuhan. Sehingga sudah sepantasnya setiap orang memperhatikannya agar bisa mendapatkan barakahnya.” (Syarah Shahih Muslim, 7/206)
Ibnu Hajar rahimahullah menjelaskan: “Di dalam hadits ini terdapat bantahan terhadap orang yang membenci perbuatan menjilat tangan (setelah makan) karena alasan jijik. Perasaan jijik itu terjadi bila dia melakukan penjilatan ketika makan, karena setelah menjilatnya dia mengambil makanan lagi dan di tangannya terdapat air liur. Al-Khaththabi berkata: “Suatu kaum telah menganggap bahwa menjilat jari adalah perbuatan kotor, (anggapan) ini disebabkan kerusakan akal mereka karena sifat angkuh, seakan-akan mereka tidak mengetahui bahwa makanan yang dijilat (yang berada) di tangannya atau di bejana makannya adalah bagian dari makanan yang mereka telah santap. Dan jika semua bagian makanan tersebut adalah tidak jijik, lalu bagaimana sisa makanan yang sedikit akan menjadi jijik? Dan menjilat jari itu tidaklah lebih besar perkaranya dibanding menjilat seluruh tangan (ketika makan). Sungguh bagi orang yang berakal tidak ada keraguan lagi bahwa hal itu tidak mengapa. Bahkan terkadang seseorang berkumur-kumur lalu menggosok giginya dan seluruh bagian dalam mulutnya dengan jari-jemarinya, dan setelah itu tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa ini menjijikan atau termasuk adab yang jelek. Di dalam hadits ini terdapat anjuran mengusap tangan setelah makan.” (Fathul Bari, 9/662)
Beliau menjelaskan: “Dalam hadits Ka’b bin ‘Ujrah yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ath-Thabrani di dalam Al-Ausath terdapat sifat (tata cara) menjilat jari-jemari: “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam makan dengan tiga jari: ibu jari, telunjuk dan jari tengah, kemudian aku melihat beliau menjilat ketiga jari beliau sebelum beliau mengelapnya. (Beliau memulai dengan) jari tengah kemudian telunjuk dan lalu ibu jari.” Syaikh kami berkata di dalam At-Tirmidzi, seakan-akan rahasianya adalah bahwa jari tengah lebih banyak terlumuri makanan sehingga sisa makaman padanya lebih banya dari yang lain, dan karena lebih panjang tentu lebih dahulu turun dan menyentuh makanan. Dan mungkin beliau menjilatnya mulai dari ujung ketiga jarinya menuju ke atas, dan bila beliau memulai dari jari tengah lalu pindah ke jari telunjuk. Demikian juga ibu jarinya, wallahu a’lam.” (lihat maraji’ (rujukan) sebelumnya)
hanya disini yang sedikit saya tambahi tentang "memberikannya kepada orang lain untuk menjilatinya" mungkin masih tidak terlalu familiar atau belum terbiasa dikalangan masyarakat indonesia, maka lebih baik untuk dijilati sendiri saja.
Wallahu a’lam bish-shawab.
____________________
[1] Hadits ini diriwayatkan dari beberapa shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, dikeluarkan oleh Al-Imam Al-Bukhari no. 5456, Al-Imam Muslim no. 2031, Al-Imam Ahmad no. 3319, Al-Imam Abu Dawud no. 3349, Al-Imam Ibnu Majah no. 3260, Al-Imam Ad-Darimi no. 1940. Diriwayatkan juga dari shahabat Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2033, Al-Imam Ahmad no. 14410, Al-Imam Ibnu Majah no. 2261. Juga dari shahabat Ka’b bin Malik radhiyallahu ‘anhu, dikeluarkan oleh Al-Imam Muslim no. 2032, Al-Imam Abu Dawud no. 4450, Al-Imam Ahmad no. 25914 dan Al-Imam Ad-Darimi 1946.
[Diambil dari Majalah Asy Syariah no. 18/II/1426 H/2005, hal. 56]

Mengurai Benang Kusut Penetapan Waktu Ibadah*


Perbedaan yang sering terjadi dalam menentukan waktu ibadah umat islam harus mulai diurai sebab, ibarat benang kusut masalah ini semakin tidak ketahuan ujung pangkalnya. lha,,, kalau ujung pangkalnya saja tidak ketahuan bagaimana kita bisa mengurai keruwetan,,??

Penetapan waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu sholat. bahkan ayat tentang ini sangat jelas disebut Al-Qur'an bahya sholat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya "sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan orang-orang yang beriman.." (an-nisa' 103)
Namun waktu sholat isya bisa diselesaikan dengan mudah. terjadi kompromi antara tradisi dan sains secara harmonis. Dulu waktu sholat ditetapkan dan dijalankan sesuai dengan tradisi rasululloh, yakni dengan melhat posisi matahari secara kasat mata, karena memang pada zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.

Ketika fajar mulai merebak di ufuk timur umat islam di wajibkan menghadap Allah dengan sholat fajar atau sholat shubuh. ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan sholat zhuhur. saat matahari berada dipertengahan antara ufuk tertinggi dan saat tenggelam, diwajibkan sholat ashar. dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk barat, umat menjalankan sholat magrib. kemudian, saat gelap malam menjalankan sholat isya'.

Dalam perkembangannya umat islam sesudah zaman nabi meluruskan merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya waktu sholat itu. Yakni, dengan menogakkan tongkat dibawah sinar matahari. Khususnya diindonesia. saya ingat betul bagaimana guru mengaji saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu sholat itu. Waktu dhuzuh adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. waktu ashar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri. waktu magrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. dan shubuh adalah saat fajar shidiq, yakni warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.

Sekarang kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu sholat. Kita sudah begitu percaya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam dihandphone. Dan sepertinya itu juga yang dilakukan oleh para muadzin sebelum mengumandangkan adzan. Tradisi telah bergeser tanpa meningglakn substansi waktu sholat.

Ketika saya bermukim dikairo, mesir, selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya saat mengaji itu. Sebab, tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya waktu sholat itu "ketemu batunya" saat dhuhur datang ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek tetapi sama pnjangnya dengan tinggi badan saya. dan arah bayngan itu tidak ketimur melainkan agak ke utara. Sebab, posisi matahai mesir pada musim dingan itu berada ditimur selatan. Menurut pelajaran ngaji saat kecil, itu mestinya aktu ashar. Tapi  jam tangan saya menunjukkan jam 12 siang. dan ketika waktu ashar datang, sekitar jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, tetapi melainkan 2 kali tinggi badan saya. saya garuk-garuk kepala karena pelajaran fikih yang saya terima ketika kecil itu bisa dijalankan di Indonesia. tidak berlaku di Mesir,. apalagi, dieropa utara, atau new zealand keselatan.

Sebab, dieropa utara keadaannya lebih rumit lagi. Suatu ketika saya berkunjung ke belgia untuk menghadiri konferensi aeronautika atas undangan mendistek BJ. Habiebie waktu itu. Dipuncak musim panas siang hari lebih panjang dari pada malam. waktu magrib datang sekitar jam 10 malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa berlaku. Apalagi difinlandia, matahari tidak tenggelam sampai 23 jam dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau semakin parah di ST. petersburg-kota kecil di utara moskow- bahwa matahari bisa tidak tenggelam seama 24 jam...!!!

Waktu sholat menjadi "kacau" jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahri. Apalagi, waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh puasa 24 jam di moskow dan sekitarnya ketika musim panas datang. Sebab, menurut  "fikihtropis" mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari belum terbit dan diakhiri setelam matahari terbenam. "mataharinya tidak terbenam , mas...!!!" kata kawan saya saifuddin juhri, yang bekerja di KBRI moskow, karena tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku disini. " fikih tropis" harus diadaptasi menjadi "fikih subtropis", atau bahkan fikih luarangkasa" ketika diterapkan kepada para astronot yang sedang bertugas di orbit bumi.

Sebab, jika tidak, ajaran islam terjebak pada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat manusia dijaman modern. karena itu tidak mengherankan sahabat saya mantan rektor universitas brawijaya, prof. Dr. Ir. Bambang gurito yang pernah bersekolah dieropa mengatakan "mas Agus, jangan-jangan orang eropa itu takut masuk islam karena disuruh puasa 24 jam...!!!!" kan runyam kala begini pemahamannya.

*tulisan ini diambil dari catatan Bapak Agus Mustafa - penulis buku serial tasawuf modern

Kamis, 19 Juli 2012

Mana yang Salah dan Mana yang Benar

Dua kata tersebut mungkin sudah sangat erat sekali di bibir temen-temen semua. Namun sebenarnya sudah taukah temen-temen semua akan makna dari benar dan salah itu sendiri?? Meskipun sudah sangat sering terucap di bibir ini dua kata tersebut menyimpan sejuta teka teki yang sangat susah untuk dipecahkan.
Kata benar dan salah sebenarnya mempunyai arti yang berlawanan. Namun kini semua sudah terasa sangat dekat sekali. Sehingga dua kata itu sering membingungkan orang. Nggak percaya??? Sekarang jika anda melihat kejadian beberapa saat yang lalu tentang di daerah Pasuruan. Kalau menurut anda itu benar atau salah. Tentunya itu akan menghadirkan kontroversi di dalam pikiran kita sendiri, mengapa demikian??? Siapa yang menolak kalau mengeluarkan zakat fitrah itu salah!!! Bahkan itu diwajibkan dalam agama Islam. Namun kalau kita mau menyuarakan kalau semua itu benar, lihat korban yang berjatuhan. Apakah itu bisa dikatakan benar???
Waduwwhh kok malah kemana-mana. Sekarang pikirkan sendiri-sendiri, sebenarnya apa makna dari kebenaran itu sendiri??!!! Tak sedikit orang yang bakal kebingungan untuk menjawab itu. Dan biasanya orang-orang akan bersembunyi dibalik pengetahuannya terhadap kata-kata yang lain dan membiarkan semua itu akan hilang dari pengamatan setiap orang. Karena biasanya orang-orang akan mencemooh ketika ada yang bertanya tentang makna benar itu sendiri, padahal belum tentu yang mencemooh itu sendiri tahu apa makna kebenaran itu sendiri dan cemooh bisa menjadi tameng yang paling kuat untuk menagkal persepsi orang lain atas ketidak tahuannya.
Sebenarnya menipisnya batas antara benar dan salah saat ini seolah-olah memang ada yang membuat. Maksudnya seolah-olah ada seseorang atau golongan tertentu yang ingin menghapuskan batas antara benar dan salah. Karena jika batas antar benar dan salah sudah terhapuskan, semua orang akan bingung dan sangat mudah untuk diruntuhkan.
Dengan mengadu aturan dengan kesenangan, semua itu sangat efektif untuk membingunkan orang saat ini. Dan entah kita sadari ataupun tidak, semu itu sangat digencarkan akhir-akhir ini. Tak sedikit filem-filem cinta yang berkedok agama. Artinya filem-filem yang ceritanya berisi tentang cinta, namun dikemas dengan judul dan pakaian yang bernuansa agama. Sehingga memunculkan persepsi bahwa seolah olah seperti itulah kehidupan orang yang beragama. Dengan begitu tentu akan bisa membingungkan orang-orang yang melihatnya.
Bahkan yang sangat mengecewakan adalah munculnya filem-filem remaja yang isinya sangat melenceng dari kaidah-kaidah yang ada. Tentunya temen-temen semua tahu bukan bagaimana tampilan filem-filem remaja saat ini. Masih adakah filem remaja yang terbebas dari bau percintaan, masih adakah filem remaja yang terbebas dari cerita tentang pacaran, filem remaja mana yang mengajarkan cara sekolah yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang ada.
Dan filem yang membuatku terasa sangat ingin marah adalah filem yang berjudul Drop Out (maap sebut merek) karena menurutku di situ berisi pelecehan yang sangat mendalam untuk seorang guru. Betapa tidak, disana digambarkan penokohan guru yang sangat menyimpang dari kebenaran. Betapa tidak, masa' tokoh seorang guru yang merupakan sosok pembangun bangsa digambarkan sebagai orang penuh libido dan pokoknya serba menyebalkan lah. Oh ya dan ada lagi, disitu digambarkan seolah-olah orang sekarang itu sudah tidak zamannya untuk menjaga diri, sekarang adalah zamannya sex bebas. Orang yang tak mau menjaga dirinya sebelum menikah malah dikatakan salah, malah katanya harus seperti adiknya yang selalu pacaran dan hamil diluar nikah menjadi trend saat ini. Disitu juga ditanamkan persepsi bahwa sikap orang tua yang menjalakan kaedah yang ada malah dikatakan kolot dan tidak representatif untuk saat ini.
Jadi masih tidak percaya kalu sekarang ada penghapusan batas antara benar dan salah sudah sangat gencar akhir-akhir ini?

Menentukan Awal Puasa dan Awal Lebaran

Wa'alaikum Salam Wr. Wb.

Puasa Ramadhan wajib dimulai apabila dijumpai salah satu hal berikut:
  1. Terlihatrnya hilal (bulan sabit awal bulan) Ramadhan. Dalam sebuah hadits Rasullah bersabda, "Puasalah mulai hilal (Ramadhan) terlihat, dan berbukalah mulai hilal (Syawal) terlihat" (H.R. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Daruquthni, dll.).
  2. Apabila Bulan Sya'ban telah genap 30 hari.
  3. Apabila hilal tidak mungkin terlihat, karena mendung atau kabut. Dalam hal ini ulama berbeda pendapat. Menurut mazhab Hanafi, Syafi'i dan Maliki, tidak boleh puasa pada tanggal 30 Sya'ban dengan berlandaskan hadits, "Apabila tidak dimungkinkan melihat hilal, maka sempurnakanlah Sya'ban 30 hari" (H.R. Bukhari dll.). Dalam hadits lain juga disebutkan bahwa Rasulullah melarang puasa pada hari yang diragukan, tanggal 30 Sya'ban merupakan hari yang diragukan apabila tidak dimungkinkan melihat hilal. Kondisi ini juga termasuk pada saat penanggalan/tarikh (ahli hisab) telah menyatakan bahwa hilal muncul dan terbenam sebelum matahari terbenam pada tanggal 29 Sya'ban, sehingga tidak mungkin dilakukan rukyah.

Namun sebagian ulama berpendapat apabila penanggalan (ahli hisab) menyatakan dengan yakin bahwa hilal sudah bisa dilihat pada tanggal 29 Sya'ban hingga setelah matahari terbenam dan memungkinkan rukyah bila tidak ada halangan, maka bisa menggunakan pedoman hisab. Pendapat ini memperbolehkan menggunakan hisab dalam menentukan awal bulan Ramadhan.

Persoalannya, apakah perbedaan tempat mempengaruhi munculnya hilal? Ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama (mayoritas ulama) menyatakan bahwa apabila hilal Ramadhan sudah terlihat di manapun di belahan bumi ini, maka telah wajib bagi umat Islam untuk memulai puasa. Kamal bin Humam (ulama Hanafi) mengatakan, "Apabila hilal Ramadhan telah terlihat di Mesir maka umat Islam di seluruh dunia telah wajib puasa. Apabila hilal terlihat di belahan Barat maka mereka yang ada di belahan Timur dunia telah wajib puasa, dan seterusnya. Sesuai dengan hadits yang mengatakan, 'Berpuasalah mulai hilal puasa terlihat'. Ini menunjukkan ketentuan umum dan di manapun ketika ada orang yang telah melihat hilal".

Sementara itu, Mazhab Syafi'i mengatakan bahwa perbedaan tempat mempengaruhi munculnya hilal. Apabila hilal terlihat di satu negara, belum tentu terlihat di negara lain. Dalam hal ini puasa hanya wajib bagi umat Islam yang berada di negeri di mana hilal Ramadhan terlihat dan tidak wajib bagi meraka yang tinggal di negeri yang tidak terlihat hilal di sana. Apabila negara-negara tersebut berdekatan, seperti Indonesia dan Malaysia, misalnya, maka dianggap sebagai satu wilayah.

Sebagian besar ulama saat ini mengutamakan (mentarjih) pendapat pertama yang menyatakan tidak ada pengaruh tempat dalam masalah hilal. Perbedaan waktu yang hanya 2 sampai 6 jam dari satu tempat ke tempat lainnya menunjukkan bahwa dua wilayah tersebut mempunyai malam dan hari yang bersamaan, seperti antara Mesir, Pakistan, Indonesia dan Malaysia.

Pada zaman sekarang ini lebih mudah mengetahui hilal karena media komunikasi yang telah maju dan canggih. Kita bisa mendengarkan radio atau televisi untuk mengetahui bahwa hilal telah terlihat di salah satu negara Islam, sehingga kita bisa memulai puasa. Untuk lebih berhati-hati, tentunya akan lebih afdhal kita mulai puasa apabila telah ada yang melihat hilal di negeri Islam manapun. Pendapat ini juga mencerminkan semangat kesatuan dan persatuan umat Islam, bahkan pada masalah mulainya bulan Ramadhan.

Meskipun demikian, kita juga harus tetap menghargai pendapat yang menyatakan mungkinnya perbedaan waktu dimulainya puasa dari satu tempat ke tempat lainnya. Demikian juga keputusan pemerintah/negara yang menentukan awal bulan Ramadhan, baik dengan landasan rukyah atau hisab, selayaknya tetap kita hargai. Dan bagi orang awam tentu terserah mana saja yang lebih cocok untuk diikuti menurutnya .

Wallahu A'lam bi al-Shawab