Selasa, 24 Juli 2012

Mengurai Benang Kusut Penetapan Waktu Ibadah*


Perbedaan yang sering terjadi dalam menentukan waktu ibadah umat islam harus mulai diurai sebab, ibarat benang kusut masalah ini semakin tidak ketahuan ujung pangkalnya. lha,,, kalau ujung pangkalnya saja tidak ketahuan bagaimana kita bisa mengurai keruwetan,,??

Penetapan waktu ibadah sebenarnya bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu sholat. bahkan ayat tentang ini sangat jelas disebut Al-Qur'an bahya sholat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya "sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan orang-orang yang beriman.." (an-nisa' 103)
Namun waktu sholat isya bisa diselesaikan dengan mudah. terjadi kompromi antara tradisi dan sains secara harmonis. Dulu waktu sholat ditetapkan dan dijalankan sesuai dengan tradisi rasululloh, yakni dengan melhat posisi matahari secara kasat mata, karena memang pada zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.

Ketika fajar mulai merebak di ufuk timur umat islam di wajibkan menghadap Allah dengan sholat fajar atau sholat shubuh. ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan sholat zhuhur. saat matahari berada dipertengahan antara ufuk tertinggi dan saat tenggelam, diwajibkan sholat ashar. dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk barat, umat menjalankan sholat magrib. kemudian, saat gelap malam menjalankan sholat isya'.

Dalam perkembangannya umat islam sesudah zaman nabi meluruskan merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya waktu sholat itu. Yakni, dengan menogakkan tongkat dibawah sinar matahari. Khususnya diindonesia. saya ingat betul bagaimana guru mengaji saya sewaktu kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu sholat itu. Waktu dhuzuh adalah saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. waktu ashar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri. waktu magrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. dan shubuh adalah saat fajar shidiq, yakni warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.

Sekarang kita sudah tidak menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu sholat. Kita sudah begitu percaya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam dihandphone. Dan sepertinya itu juga yang dilakukan oleh para muadzin sebelum mengumandangkan adzan. Tradisi telah bergeser tanpa meningglakn substansi waktu sholat.

Ketika saya bermukim dikairo, mesir, selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya saat mengaji itu. Sebab, tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya waktu sholat itu "ketemu batunya" saat dhuhur datang ternyata bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek tetapi sama pnjangnya dengan tinggi badan saya. dan arah bayngan itu tidak ketimur melainkan agak ke utara. Sebab, posisi matahai mesir pada musim dingan itu berada ditimur selatan. Menurut pelajaran ngaji saat kecil, itu mestinya aktu ashar. Tapi  jam tangan saya menunjukkan jam 12 siang. dan ketika waktu ashar datang, sekitar jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, tetapi melainkan 2 kali tinggi badan saya. saya garuk-garuk kepala karena pelajaran fikih yang saya terima ketika kecil itu bisa dijalankan di Indonesia. tidak berlaku di Mesir,. apalagi, dieropa utara, atau new zealand keselatan.

Sebab, dieropa utara keadaannya lebih rumit lagi. Suatu ketika saya berkunjung ke belgia untuk menghadiri konferensi aeronautika atas undangan mendistek BJ. Habiebie waktu itu. Dipuncak musim panas siang hari lebih panjang dari pada malam. waktu magrib datang sekitar jam 10 malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa berlaku. Apalagi difinlandia, matahari tidak tenggelam sampai 23 jam dan malam hari hanya berdurasi 1 jam. Atau semakin parah di ST. petersburg-kota kecil di utara moskow- bahwa matahari bisa tidak tenggelam seama 24 jam...!!!

Waktu sholat menjadi "kacau" jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahri. Apalagi, waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh puasa 24 jam di moskow dan sekitarnya ketika musim panas datang. Sebab, menurut  "fikihtropis" mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari belum terbit dan diakhiri setelam matahari terbenam. "mataharinya tidak terbenam , mas...!!!" kata kawan saya saifuddin juhri, yang bekerja di KBRI moskow, karena tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku disini. " fikih tropis" harus diadaptasi menjadi "fikih subtropis", atau bahkan fikih luarangkasa" ketika diterapkan kepada para astronot yang sedang bertugas di orbit bumi.

Sebab, jika tidak, ajaran islam terjebak pada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat manusia dijaman modern. karena itu tidak mengherankan sahabat saya mantan rektor universitas brawijaya, prof. Dr. Ir. Bambang gurito yang pernah bersekolah dieropa mengatakan "mas Agus, jangan-jangan orang eropa itu takut masuk islam karena disuruh puasa 24 jam...!!!!" kan runyam kala begini pemahamannya.

*tulisan ini diambil dari catatan Bapak Agus Mustafa - penulis buku serial tasawuf modern

Tidak ada komentar:

Posting Komentar