Perbedaan yang sering terjadi
dalam menentukan waktu ibadah umat islam harus mulai diurai sebab, ibarat
benang kusut masalah ini semakin tidak ketahuan ujung pangkalnya. lha,,, kalau
ujung pangkalnya saja tidak ketahuan bagaimana kita bisa mengurai keruwetan,,??
Penetapan waktu ibadah sebenarnya
bukan hanya soal puasa, melainkan juga waktu sholat. bahkan ayat tentang ini
sangat jelas disebut Al-Qur'an bahya sholat adalah ibadah yang ditetapkan waktunya
"sesungguhnya sholat itu adalah kewajiban yang ditentukan orang-orang yang
beriman.." (an-nisa' 103)
Namun waktu sholat isya bisa
diselesaikan dengan mudah. terjadi kompromi antara tradisi dan sains secara
harmonis. Dulu waktu sholat ditetapkan dan dijalankan sesuai dengan tradisi
rasululloh, yakni dengan melhat posisi matahari secara kasat mata, karena
memang pada zaman itu belum ada perhitungan sains yang memadai.
Ketika fajar mulai merebak di
ufuk timur umat islam di wajibkan menghadap Allah dengan sholat fajar atau sholat
shubuh. ketika matahari sudah melewati ufuk tertingginya, diwajibkan sholat
zhuhur. saat matahari berada dipertengahan antara ufuk tertinggi dan saat
tenggelam, diwajibkan sholat ashar. dan ketika matahari sudah tenggelam di ufuk
barat, umat menjalankan sholat magrib. kemudian, saat gelap malam menjalankan
sholat isya'.
Dalam perkembangannya umat islam
sesudah zaman nabi meluruskan merumuskan cara mudah untuk menandai datangnya
waktu sholat itu. Yakni, dengan menogakkan tongkat dibawah sinar matahari. Khususnya diindonesia. saya ingat betul bagaimana guru mengaji saya sewaktu
kecil mengajari cara menentukan waktu-waktu sholat itu. Waktu dhuzuh adalah
saat tongkat menghasilkan bayangan pendek yang mulai condong ke timur. waktu
ashar adalah ketika bayangan tongkat seukuran panjang tongkat itu sendiri.
waktu magrib adalah ketika matahari sudah tenggelam. dan shubuh adalah saat
fajar shidiq, yakni warna benda sudah bisa dibedakan antara hitam dan putih.
Sekarang kita sudah tidak
menggunakan cara itu lagi sebagai tradisi untuk menentukan datangnya waktu
sholat. Kita sudah begitu percaya kepada jam tangan, jam dinding, atau jam
dihandphone. Dan sepertinya itu juga yang dilakukan oleh para muadzin sebelum
mengumandangkan adzan. Tradisi telah bergeser tanpa meningglakn substansi waktu
sholat.
Ketika saya bermukim dikairo,
mesir, selama setahun, saya sempat tertawa sendiri mengenang masa kecil saya
saat mengaji itu. Sebab, tradisi menegakkan tongkat untuk mengukur datangnya
waktu sholat itu "ketemu batunya" saat dhuhur datang ternyata
bayang-bayang tubuh saya tidak berukuran pendek tetapi sama pnjangnya dengan
tinggi badan saya. dan arah bayngan itu tidak ketimur melainkan agak ke utara. Sebab, posisi matahai mesir pada musim dingan itu berada ditimur selatan. Menurut pelajaran ngaji saat
kecil, itu mestinya aktu ashar. Tapi jam
tangan saya menunjukkan jam 12 siang. dan ketika waktu ashar datang, sekitar
jam 3 sore, bayang-bayang tubuh saya bukan lagi seukuran tinggi badan, tetapi
melainkan 2 kali tinggi badan saya. saya garuk-garuk kepala karena pelajaran
fikih yang saya terima ketika kecil itu bisa dijalankan di Indonesia. tidak
berlaku di Mesir,. apalagi, dieropa utara, atau new zealand keselatan.
Sebab, dieropa utara keadaannya
lebih rumit lagi. Suatu ketika saya berkunjung ke belgia untuk menghadiri
konferensi aeronautika atas undangan mendistek BJ. Habiebie waktu itu. Dipuncak
musim panas siang hari lebih panjang dari pada malam. waktu magrib datang
sekitar jam 10 malam. Tentu saja, tradisi menegakkan tongkat itu tidak bisa
berlaku. Apalagi difinlandia, matahari tidak tenggelam sampai 23 jam dan malam
hari hanya berdurasi 1 jam. Atau semakin parah di ST. petersburg-kota kecil di
utara moskow- bahwa matahari bisa tidak tenggelam seama 24 jam...!!!
Waktu sholat menjadi "kacau"
jika harus mengikuti tradisi pergerakan matahri. Apalagi, waktu puasa. Bagaimana mungkin kita disuruh puasa 24 jam di moskow dan sekitarnya ketika
musim panas datang. Sebab, menurut
"fikihtropis" mestinya berpuasa itu dimulai saat matahari
belum terbit dan diakhiri setelam matahari terbenam. "mataharinya tidak
terbenam , mas...!!!" kata kawan saya saifuddin juhri, yang bekerja di
KBRI moskow, karena tradisi wilayah tropis sama sekali tidak berlaku disini.
" fikih tropis" harus diadaptasi menjadi "fikih subtropis",
atau bahkan fikih luarangkasa" ketika diterapkan kepada para astronot yang
sedang bertugas di orbit bumi.
Sebab, jika tidak, ajaran islam
terjebak pada tradisi masa lalu yang tidak bisa diterapkan lagi untuk umat
manusia dijaman modern. karena itu tidak mengherankan sahabat saya mantan
rektor universitas brawijaya, prof. Dr. Ir. Bambang gurito yang pernah
bersekolah dieropa mengatakan "mas Agus, jangan-jangan orang eropa itu
takut masuk islam karena disuruh puasa 24 jam...!!!!" kan runyam kala
begini pemahamannya.
*tulisan ini diambil dari catatan Bapak Agus Mustafa - penulis buku
serial tasawuf modern
Tidak ada komentar:
Posting Komentar